Banyak versi cerita yang beredar tentang awal dari munculnya adat istiadat Suku Iban, hal itu mengingat pada waktu itu Suku Iban belum mengenal baca-tulis sehingga tidak mungkin untuk menemukan dokumen. Salah satu versi akan diungkapkan di bawah ini dan hal ini berdasarkan cerita yang bersifat turun temurun.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kepada pihak-pihak baik secara langsung maupun tidak dalam memberikan informasi yang sangat bermanfaat.
1. TEMENGGUNG SIMPE
Temenggung Simpe / Bejana adalah anak dari Macan dan Tema. Secara lengkap anak dari Macan dan Tema yang berjumlah 5 (lima) orang adalah yang pertama bernama Tami yang bergelar Rentap, kedua bernama Simpe / Bejana, ketiga bernama Renggi, keempat bernama Manang Jaget serta kelima adalah perempuan yang diberi nama Bangi.
Berdasarkan cerita, tengkorak kepala dari Simpe / Bejana berbentuk “Simpe” (dalam bahasa Indonesia berarti pipih) sehingga tidak seperti kepala manusia pada umumnya. Karena tengkorak kepalanya yang berbentuk simpe itulah dia biasa dipanggil dengan nama Simpe.
Simpe / Bejana memperistrikan Cala yang berasal dari Kampung Kumpang dan mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Tiong.
Pada suatu malam Simpe / Bejana pada saat tidur dan bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan seseorang/roh, dan roh tersebut menyuruhnya untuk menceraikan istrinya (Cala). Apabila Simpe / Bejana tidak menceraikan istrinya maka ia akan gila atau bahkan meninggal. Karena mimpinya itu maka Temenggung Simpe menceraikan istrinya. Pada zaman dahulu kepercayaan akan mimpi sangat tinggi.
Setelah bercerai dengan istrinya, Simpe pindah ke Bukit Tunggal Batang Wong di Batang Ai (sekarang masuk Wilayah Malaysia). Di daerah itu, dia bertemu dengan makhluk halus yang menyuruh Simpe untuk mengawini seorang perempuan yang bernama Jaburi anak dari Apai Laka yang berada di Rantau Berunai. Ternyata perempuan itu masih keponakan Simpe sendiri. Makhluk halus itu mengatakan bahwa bila dia (Simpe) memperistrikan Jaburi maka dia akan menjadi orang terbilang (orang yang mempunyai nama besar, dihormati dan disegani).
2. DIANUGARAHI GELAR TEMENGGUNG
Dikisahkan setelah Simpe menikah dengan Jaburi, Simpe kembali didatangi oleh makhluk halus dan membawanya ke Panggau Libau (Kayangan, menurut kepercayaan animisme orang Iban dan sampai sekarang mesih dipercaya keberadaannya). Panggau Libau adalah tempat roh penolong orang Iban pada jaman dahulu bahkan sampai sekarang. Sampai di Kayangan, Simpe dinabati sebagai Temenggung (kedudukan tertinggi dalam adat Iban). Selain dianugerahi sebagai temenggung, Simpe juga dibekali benda-benda mustika seperti sebuah Bliung (sejenis Kampak) yang diberikan oleh Bungai Nuing, sebuah Kuna yang diberikan oleh Bijang Tuai dan sebuah Tambai (Bendera) yang mempunyai lima warna yakni merah, kuning, putih, biru dan hitam yang diberi oleh pasangan suami istri yakni Kumang dan Keling.
Benda-benda mustika yang diberikan oleh Orang Panggau Libau mempunyai beberapa kegunaan. Bliung biasa digunakan untuk membuka hutan sebagai lahan untuk berladang, Kuna digunakan untuk mengendalikan/menandai keturunan Tuai Rumah (kepala rumah panjang), sedangkan Tambai melambangkan bendera Suku Iban.
Ketiga benda mustika tersebut sebagai tanda pengangkatan Simpe sebagai Temenggung Suku Iban yang pertama. Semenjak saat itu sekitar tahun 1286 (berdasarkan beberapa sumber, kebenaran masih merupakan misteri karena pada zaman itu Orang Iban belum mengenal tulisan dan belum adanya dokumen) Simpe resmi sebagai temenggung dan disebut sebagai Temenggung Simpe. Sehingga semenjak Simpe diangkat menjadi temenggung (Tahun 1286) suku Iban mulai mengenal adat istiadat dan hukum adat.
3. TEMENGGUNG SIMPE MENINGGAL
Temenggung Simpe meninggal karena usia lanjut. Meninggalnya Temenggung Simpe dilakukan upacara Rarung. Rarung merupakan upacara kematian adat Suku Iban untuk menghormati seorang pahlawan dan orang-orang yang dihormati dan disegani karena jasa-jasanya. Setelah upacara Rarung, Temenggung Simpe dikebumikan di Hulu Seriang, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Sampai sekarang makam Temenggung Simpe sangat jarang dikunjungi orang karena medanya cukup sulit dan harus melewati jalan setapak yang berbatu dan berbukit.
Sebelum meninggal, Temenggung Simpe berpesan bahwa sebelum hari ketujuh semua kaum kerabatnya termasuk para anak buah/pengikutnya tidak boleh menengok/berziarah ke kuburannya. Dan bila dilanggar maka pohon nibung (sejenis pohon sagu) yang tumbuh di atas kuburannya tepat di bagian dada, akan mempunyai arti/kegunaan (mungkin sebelum meninggalnya Temenggung Simpe, pohon nibung tidak/belum ada manfaatnya bagi manusia). Namun dua hari setelah kematian Temenggung Simpe, para mantan anak buahnya yang baru pulang ngayau (berperang) berziarah kemakam Temenggung Simpe dan mereka tidak mengetahui pantangan tersebut karena Temenggung Simpe meninggal setelah mereka berangkat ngayau. Pada saat mereka berziarah, mereka melihat pohon nibung sebesar sepenggenggam (baru mempunyai satu ranting) tumbuh diatas kuburan Temenggung Simpe. Karena pantangan dilanggar maka pohon nibung dapat bermanfaat dan semenjak saat itu Suku Iban dapat menggunakan pohon nibung sebagai bahan untuk membuat Seligi (berbentuk seperti tombak) yang digunakan dalam medang perang. Seligi yang terbuat dari pohon nibung mempunyai keampuhan yang lebih bila dibandingkan dengan tombak yang berasal dari bahan lain.
5. KETURUNAN TEMENGGUNG SIMPE
Dari pernikahan Simpe dengan Jaburi, mereka dikaruniai tiga orang putra yang diberi nama Buah, Runggah dan Malin.
Anak pertama yang bernama Buah, memperistrikan Bejau dan mempunyai anak bernama Rengkang. Rengkang (nama istrinya tidak diketahui) mempunyai anak bernama Pok. Pok memperistrikan Bulik dan mempunyai anak yang bernama Balang. Balang mati karena dihukum mati oleh Raja Bruke karena dituduh oleh orang Muari menantang keberadaan penjajahan Inggris. Di Kuching Serawak, (Malaysia) karena kepahlawanannya, Balang dibuat sebuah patung sebagai tanda penghormatan.
Anak kedua yang bernama Runggah. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut (pada zaman dahulu orang Iban belum mengenal tulisan), keturunan Runggah sekarang adalah Nyanggau anak Sidan dan Gindoh yang berada di Dusun Sadap, Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu.
Anak ketiga yang bernama Malin. Keturunan Malin sekarang adalah Buda yang bertempat tinggal di Dusun Sumpak Lelayang, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu.
Saudara Temenggung Simpe yang bernama Tami (bergelar Rentap) mempunyai keturunan yang sampai sekarang mendiami Dusun Sepan, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu.
6. TEMENGGUNG
Dalam adat istiadat Suku Iban, seorang temenggung sangat dihormati dan kata-katanya dianggap sebagai peraturan yang wajib dipatuhi. Seorang temenggung sebagai penentu segala macam perkara hukum dan aturan yang berlaku bahkan seorang temenggung juga dapat memutuskan perang atau tidak serta menang atau kalah dalam perang juga ditentukan oleh temenggung.
7. NAMA-NAMA TEMENGGUNG DI KABUPATEN KAPUAS HULU
A. KECAMATAN EMBALOH HULU
NO | NAMA TEMENGGUNG | WILAYAH KERJA | PERIODE |
1. | SEKAMDI | KARANGAN BUNUT | 1913 – 1929 |
2. | BIGAM | KARANGAN BUNUT | 1929 – 1962 |
3. | NYEMPAL | SADAP | 1962 – 1976 |
4. | F.M.TIGANG.S | KELAYAM | 1976–SEKARANG |
B. JALAN LINTANG
NO | NAMA TEMENGGUNG | WILAYAH KERJA | PERIODE |
1. | JUDAN | SUNGAI UTIK | 1916 – 1952 |
2. | HUSIN | PULAN | 1952 – 1970 |
3. | K. UMPING | SUNGAI UTIK | 1970–SEKARANG |
C. KECAMATAN BATANG LUPAR
NO | NAMA TEMENGGUNG | WILAYAH KERJA | PERIODE |
1. | BUDIT | SEPAN | 1960 - |
2. | JELAI | ENTABULOH/UBANG | 1960 – 2001 |
3. | M. SUMPIT | SUNGAI UTIK | 2001–SEKARANG |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar